Dari Kerja Sama Jadi Perkara Hukum, Terdakwa Tegaskan Tak Ada Penipuan

SURABAYA-Pengadilan Negeri Surabaya menggelar sidang lanjutan kasus dugaan penipuan dalam kerja sama investasi jual beli gula dengan terdakwa Mulia Wiryanto. Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Djuanto ini menghadirkan terdakwa untuk memberikan keterangan di hadapan jaksa dan majelis hakim, Rabu (9/4/25).

Dalam persidangan, Mulia Wiryanto menegaskan bahwa tidak pernah ada unsur penipuan dalam kerja sama tersebut. Ia menyebut, awal pertemuan dengan pelapor, Kosasih, terjadi di Jakarta melalui perantara adiknya, Agnez. Dari pertemuan itulah Kosasih tertarik dengan bisnis gula yang dijalankan oleh Mulia.

Terdakwa mengungkapkan bahwa Kosasih mengundangnya di Surabaya dan bertemu di Rumah Makan Imari, setelah percakapan dan melihat rekam jejak bisnis gula terdakwa yang sudah bekerja sama dengan BUMD Kabupaten Bandung dan menyuplai kebutuhan masyarakat selama pandemi COVID-19, investor Tertarik untuk menanamkan Modal 10M.

“Awalnya saya hanya cerita tentang usaha gula yang saya jalankan. Kosasih tertarik dan mengundang terdakwa untuk hadir di Surabaya saat itu bertemu di Rumah Makan Imari ,” terang Mulia di ruang sidang Candra, PN Surabaya.

Terdakwa juga menjelaskan, bahwa selama kerja sama berlangsung, dirinya telah memberikan keuntungan sebanyak 13 kali dengan total Rp2,3 miliar serta cicilan pengembalian modal senilai Rp2,5 miliar. Total pengembalian kepada Kosasih mencapai Rp4,5 miliar.

Ia juga menegaskan, bahwa dana investasi digunakan sepenuhnya untuk membeli gula, sesuai dengan perjanjian lisan yang terjadi secara pribadi, bukan atas nama badan hukum.

“Dana itu saya belikan gula, sesuai dengan kesepahaman awal. Saya tidak pernah menyalahgunakan uang tersebut,” tegas Mulia dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Djuanto.

Terkait keterlambatan pengembalian modal, terdakwa menyebut hal itu terjadi karena dampak pandemi dan kendala operasional. Namun, ia tetap beritikad baik untuk melunasi secara bertahap. Ia mengaku kecewa karena di tengah proses negosiasi, dirinya justru dilaporkan ke kepolisian.

“Sudah ada upaya mediasi dan restorative justice. Namun, pelapor meminta jaminan 100% saham hotel saya di Bali. Dan meminta masuk dalam keluarga perusahaan dengan merumuskan sepanjang Bulan April diajukan berhak menjual/ menggadai, Permintaan itulah yang membuat terdakwa keberatan dalam proses perdamaian, karena dianggap tidak masuk akal. Saya sudah tawarkan uang tunai, tapi tidak diterima,” ujarnya.

Saat ditanya apakah kerja sama tersebut atas nama badan hukum atau pribadi, terdakwa menjawab, “Pribadi.” Ia juga menegaskan bahwa dana Rp10 miliar dari Kosasih digunakan untuk membeli gula.

Hubungan terdakwa dengan kosasih sendiri adalah teman dan berhubungan baik, kosasih sendiri adalah lawyer adiknya terdakwa.

Dalam pertanyaan jaksa bahwa dalam bukti chat percakapan antar terdakwa dengan kosasih mengenai meminta pengembalian modal, sudah ada pembagian keuntungan 2,3M dari tahun 20-24. Dan pengembalian modal 2,5M. Menurut terdakwa keuntungan dakam usaha gula tidak bisa diurai dalam pembagian hasil di awal pertemuan bukan 5% yang dijanjikan, namun hanya perkiraan 5% keuntungan belum pembayaran yang lain lain, itu yang di sampaikan kepada investor.

Dalam konteks hukum, kegagalan usaha tanpa adanya niat jahat sejak awal tidak dapat dikategorikan sebagai penipuan.

Hal ini sejalan dengan prinsip perlindungan hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda Tuntutan.

Seusai persidangan dalam keteranganya. Kuasa hukum terdakwa, Fransiska Xaveria Wahon menyatakan, bahwa kliennya memiliki itikad baik dan perkara ini seharusnya tidak diproses secara pidana.

“Ini murni perkara wanprestasi dalam kerja sama bisnis. Klien kami sudah menunjukkan niat baik untuk mencicil dan mengembalikan dana” ucapnya.

“Seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana,” tegas Fransiska. {Tim}