Bidik Bahana Dugaan Penggelapan BBM, Saksi Meratus malah Terangkan Kasus Vendor Lain

Sidang Meratus dan Bahana di PN Surabaya.

SURABAYA-Upaya PT Meratus Line melakukan framing yang mengesankan PT Bahana Line diduga terlibat dalam tindak pidana penggelapan BBM yang dilakukan 17 oknum karyawan kedua perusahaan, digagalkan dua saksi karyawan PT Meratus Line sendiri.

Dua saksi yang dihadirkan di Pengadilan Negeri Surabaya diketahui bernama Irwan Bahrudin dan Aryo. Kedua karyawan tetap PT Meratus Line itu diketahui menjabat sebagai Teknichal Super Itendent.

Dalam keterangannya sebagai saksi, keduanya menerangkan mendapat tugas dari manajemen PT Meratus Line untuk melakukan penghitungan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) pada kapal-kapal milik PT Meratus Line.

Padab kesaksian awal, diterangkan oleh saksi Irwan. Ia pun menerangkan, bahwa dirinya bertugas melakukan monitoring operasional kapal supaya bisa berlayar. Terkait dengan hal ini, ia mengaku diberi perintah pimpinannya, untuk ikut berlayar di Kapal Wainampu.

“Saya diintruksikan pimpinan, disuruh ikut berlayar untuk memastikan konsumsi BBM di Kapal Wainampu,” tukasnya, Kamis (19/1) malam.

Irwan menambahkan, bahwa dalam penelitiannya itu, ia mengaku ikut kapal berlayar dari Jakarta menuju Surabaya. Perjalanan itu ditempuh selama 30 jam.

“Satu hari dari Jakarta ke Surabaya. Saya ikut kapal berlayar. Setelah di laut lepas baru melakukan perhitungan,” tambahnya.

Ia juga sempat menjelaskan metode perhitungan yang dilakukannya. Kapal yang ditelitinya menggunakan tangki harian.

“Saya menghitungnya perjam, saya kasih garis, turunnya berapa, baru diakhir kita lakukan perhitungan. Saya hanya menghitung konsumsi, dikroscek dengan laporan kapal,”

Dari perhitungan yang dilakukannya, terdapat selisih penggunaan BBM. Hasil temuan ini pun, dilaporkan pada atasannya.

Ditanya pengacara salah satu terdakwa soal dari mana suplai BBM yang diperoleh kapal yang ditelitinya, Irwan menjelaskan, jika kapal berasal dari Jakarta, maka vendor dan bunker office nya pun berasal dari Jakarta. Namun siapa vendor yang menyuplai BBM, ia mengaku tidak tahu.

Ditanya Pengacara Syaiful Maarif soal standar operasional prosedur (SOP) untuk menghitung BBM maupun soal standarisasi kapal dapat dikatakan boros atau irit, Irwan mengakui tidak ada.

“Tidak ada, tapi menghitung berdasarkan riil laporan,” tegasnya.

Sementara itu, saksi Aryo juga menerangkan hal yang sama dengan Irwan. Ia mendapatkan tugas untuk menghitung jumlah konsumsi BBM namun pada kapal milik Meratus yang berbeda. Kapal yang ditelitinya bernama Meratus Waigeo.

Pada kapal tersebut, Aryo juga menjelaskan temuannya soal selisih BBM yang dipakai di kapal tersebut. Hasil selisih BBM itu pun lalu dilaporkannya pada manajemen.

Ditanya soal vendor penyuplai BBM kapal tersebut, ia juga mengakui hal itu dilakukan oleh vendor dari Jakarta. Demikian pula saat ditanya mengenai penyebab dari selisih BBM hasil temuannya, Aryo mengaku tidak tahu.

“Pengisian dari vendor Jakarta. Saya tidak tahu penyebab selisihnya apa. Yang saya lakukan hanya pasang alat untuk memastikan agar tidak ada transfer BBM,” ungkapnya.

Pengacara Syaiful Maarif lantas bertanya, apakah proses penghitungan selisih BBM itu baru dilakukan kali ini, Aryo dan Irwan pun membenarkannya. Selama ini mereka mengaku belum pernah melakukan tugas semacam itu.

Ditanya lagi soal apakah tahu bahwa kapal yang ditelitinya itu tidak masuk dalam perkara dugaan pidana penggelapan BBM ini, baik Aryo maupun Irwan menyatakan tidak tahu.

Atas ketidak tahuannya itu, Syaiful lalu membeberkan daftar nama sejumlah kapal yang masuk dalam perkara ini. Dimana, dua kapal yang diteliti keduanya dipastikan tidak masuk dalam daftar kapal yang diperkarakan.

Namun saat ditanya soal hasil penelitian mereka yang dipakai sebagai dasar audit oleh auditor internal PTMeratus Line, baik Irwan maupun Aryo sama-sama membenarkan bahwa mereka pernah dimintai keterangannya oleh auditor internal. Aryo bahkan memastikan, bahwa salah satu auditor yang menanyainya adalah Fenny yang sebelumnya bersaksi di persidangan.

“Pernah dimintai keterangan oleh auditor internal. Salah satunya oleh bu Fenny,” tegasnya.

Menanggapi soal kesaksian ini, Pengacara Syaiful Ma’arif menyatakan bahwa kapal yang diteliti keduanya adalah berasal dsri Jakarta. Sehingga vendor pengisi BBM juga berasal dari Jakarta.

“Yang diteliti Perjalanannya dari Jakarta, diisinya (BBM) juga dari Jakarta, vendornya juga bukan dari Surabaya. Karena Surabaya dengan Jakarta itu beda,” katanya.

Ia menambahkan, hasil dari penelitian kedua saksi disampaikan sebagai hasil yang dipakai untuk menghitung kerugian oleh auditor internal. Padahal, kapal itu vendornya bukan dari Surabaya.

“Sehingga tidak ada korelasi dan saya cek tidak ada hasil yang lain. Sehingga, contoh yang digunakan dipukul rata,” ungkapnya.

“Mereka punya 60 kapal, yang masuk (perkara pidana) itu 40, yang disebutkan tiga itu tidak ada disitu,” tambahnya.

Ia pun menegaskan, bahwa jika penelitian kedua saksi yang dianggapntidak kompeten itu digunakan, maka hasil audit yang digunakan oleh PT Meratus Line sebelumnya pun secara hukum dianggapnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. “Audit internal mereka secara hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena juga hanya berdasarkan asumsi,” tandasnya.

Terkait dengan perkara ini, ia menjelaskan bahwa keterangan saksi sebelumnya yang berusaha menumpahkan kesalahannya pada PT Bahana Line secara korporasi adalah tidak tepat. Sebab, dalam perkara ini oknum karyawan Meratus dan oknum karyawan Bahana lah yang bermain.

“Keterangan saksi kali ini juga tidak terkait dengan fakta karena menceritakan soal proyek di kapal yang justru vendor nya bukan Bahana,” ungkapnya.

Pada sidang Selasa (17/1) kemarin, baik kesaksian Dirut PT Meratus Slamet Raharjo maupun Audit internal Fenny lebih banyak terkesan menyudutkan PT Bahana secara korporasi. Slamet bahkan sempat menyebut, bahwa karyawannya yang bernama Edi Setyawan menerima langsung sejumlah uang dari Bahana.

Sedangkan Fenny sendiri, juga sempat mengakui, soal perhitungan kerugian yang awalnya ditaksir mencapai Rp501 miliar, melorot menjadi Rp 94 miliar setelah dicecar oleh para pengacara terdakwa. Fenny juga mengakui jika metode audit yang dilakukannya lebih banyak berdasarkan asumsi.

“Terdapat keterangan yang banyak kejanggalan dan memaksakan agar Bahana masuk walau sebenarnya tidak ada kaitan hingga mereka (saksi Slamet dan Fenny) diperingatkan ketua Majelis hakim. Jadi, makin jelas ini ada upaya memframing korporasi Bahana untuk kasus yang sebenarnya akibat pengawasan internal Meratus sendiri yang tidak jalan. Terbukti kasusnya diduga dilakukan dengan inisiatif oknum karyawan Meratus,” tambahnya. {SN}