SURABAYA-Dalam sidang perkara yang diduga jual-beli darah Plasma konvalesen, menjerat tiga terdakwa yang disiplit BAP. Kali ini menyidangkan satu orang yaitu Yogi Agung Prima Wardana telah meghadirkan Ahli Filsafat Hukum diminta keterangan didepan Majelis Hakim yang di ketuai Dr. Johannes, SH, MH maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) Bonari serta Utcok Jimmi, SH, MH Kuasa Hukum terdakwa Yogi.
Menurut Dr. Supriarno, SH, MH ahli Filsafat Hukum dalam keterangan dalam persidangan mengatakan, perkara yang menjerat Yogi Agung Prima Wardana oknum pegawai PMI itu sangat tidak pas didakwa Pasal 195 jo 90 Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo 378 dan jo 55, 56 KUHP. Karena dakwaan ini untuk pendonor darah umum seperi peruntukan kekurangan darah atau kehabisan darah.
Sementara, perkara Yogi adalah darah plasma konvensalen dari positif corona yang sudah sembuh diambil atu di donorkan untuk obat yang dimasukkan bagi penderita Covid-19. Dan diatur dalam Permenkes No. 15 tahun 2021, terang Supriarno dalam persidangan di ruang Candra PN Surabaya, senin (13/12).
Setelah ahli selesai menjelaskan, bahwa penerapan norma-norma hukum kurang tepat UU kesehatan dan pasal yang didakwakan kepada terdakwa, hakim ketua meminta JPU apa ada yang mau ditanyakan?. Namun, JPU Bonari hanya diam.
Selajutnya Hakim ketua Johannes mengetuk palu, bahwa Sidang tuntutan dilanjut Rabu 15 Desember 21.
Usai Persidangan, Supriarno ahli Filsafat Hukum di konfifmasi media ini menjelaskan, kita ini menegakkan hukum mengadili seseorang yang belum tentu bersalah, maka penerapan norma-norma hukum ini harus tepat.
“Menurut saya, penerapan hukum yang diterapkan JPU tidak tepat”, tegas Supriarno.
Karena ada darah yang di maksut Jaksa penuntut Umum adalah obyek sebagaimana umumnya. Sementara dalam perkara ini adalah bukan darah, tetapi plasma, yang menurut menteri jelas normanya diatur.
“Ini adalah obat yang diatur dalam Permen No. 15 tahun 2021”, tandasnya.
Kata Sulpriarno, JPU diberi wewenang menuntut, tapi jangan melampaui norma hukum dan jangan dipaksakan. Karena objek sengketa berbeda yaitu darah umum dengan plasma konvensalen penyitas Covid-19 secara khusus obat.
Utcok Jimmi, SH, MH. Kepada Wartawan menyatakan, sejak awal sudah kukatakan bahwa tidak memenuhi unsur dakwaan, karena itu waktu dasar hukum penangkapannya bukan langsung bertransaksi, tetapi menggunakan orang meninggal untuk menjebak tersangka-tersangka tersebut.
“Jadi waktu penangkapan itu, tidak ada bukti kantong darah dalam jual beli, disitulah merasa ganjil”, sebut Jimmi. {JAcK}