SURABAYA-Sidang terdakwa Seorang bos Condotel di Stephanus Setyabudi, JPU menghadirkan 3 orang saksi korban pembeli untuk dimintai keterangannya di depan majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
Terdakwa yang sebelumnya berstatus tahanan rumah ini, secara tegas Majelis Hakim yang di ketuai Suparno, SH, MH memerintahkan Jaksa Sebagai Eksekutor agar menjebloskan ke penjara Syephanus Direktur PT Papan Utama Indonesia pada Rabu 10 Oktober 2021.
Stephanus didakwa telah melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf f jo Pasal 62 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Kala itu dalam penahanan terdakwa Erick Ibrahim Wijayanto, pengacara salah satu konsumen menyatakan, kami menyambut baik keputusan majelis hakim PN Surabaya. Karena majelis hakim memang mempunyai kewenangan untuk menahan terdakwa. Hal itu sesuai dengan Pasal 20 ayat 3 KUHP.
Sidang kali ini yang dipimpin Hakim Ketua Suparno Fokus dengan ukuran dan Pembayaran apartemen yang dibeli oleh ketiga saksi korban yang di hadirkan JPU, Rabu (17/11).
Ketiga saksi saat ditanya Hakim Ketua Suprno, mengaku tidak mengenal terdakwa Stephanus m. Sedangkan Tomy Sugianto dalam keterangannya didepan hakim mengatakan, bahwa dia sudah membayar lunas, dan dia nerhubungn dengan sales/ marketing yang saat itu dalam brosur dan dijnji seluas 30 m2. Namun, yang di terima 25,8 meter/segi.
“Condotel itu tidak saya tempati, tetapi tetap dikelola mannagemen”, jelasnya sembari menunjukkan perjanjian di meja majelis Hakim.
Sementara saksi Lie Anto Yoga mengaku, pada tahun 2010 membeli sebuah unit Condotel membayar 750 juta dalam brosur yang ditawarkan juga 30 M/segi. Tetapi tidak sesuai dengan di inginkan terutama dalam sertifikat tercantum 25,8 meter.
Berbeda keterangan Suryan Daru ketika ditanya JPU I Made melalui VC ia membayar sebesar 679 juta secara mencicil. Setelah serah terima dilakukan luasnya 26 m2. Padahal di brosur luas 30 meter/segi.
Pada sat itu juga Yudi Kuasa Hukum terdakwa kepada saksi Daru mencecar pertanyaan, bahwa yang di beli Daru “satu unit tipe 2375 luas segi Gross dalam perjanjin kurang lebih (-+) jadi tidak sipastikan yang mulia”, rinci kuasa hukum terdakwa.
Dari ketika dari keterangan saksi, terdakwa membantah tidak benar.
Dari persidangan yang berlangsung dari pantauan fetektifnews bahwa yang selalu ditanyakan PH terdakwa selalu fokus luas tanah yang dijelaskan -+ 30/segi yang bukan dipastikan. Apakah ini sebagai trik untuk meringnkan terdakwa juga bukan suatu kepastian.
Usai Persidanagan Kuasa Hukum terdakwa kepada Wartawan menjelaskan, maslah ini harus di sadari pembeli bahwa pemesanan Perjanjian Pengikat Jual Beli (PPJB) sudah jelas plus-minus nya. Terus brosur tadi akan kami telusuri nantinya.
Dalam perkara ini, terdakwa sebagai Direktur dari PT Papan Utama Indonesia mulai mengerjakan proyek pembangunan kondotel The Eden Kuta di Kuta, Badung, Bali pada 2009. Setelah masterplan pembangunan siap, kemudian PT Papan Utama Indonesia mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang telah disetujui dan diterbitkan oleh Dinas Cipta Karya pada Desember 2009.
Setelah IMB terbit, PT Papan Utama Indonesia menggandeng PT Prambanan Dwipaka untuk proses pembangunan kondotel The Eden Kuta. Pembangunan disesuaikan dengan masterplan dengan beberapa tipe diantaranya, Deluxe Studio seluas 30 meter persegi, Executive Studio seluas 45 meter persegi, dan Suite Room seluas 60 meter persegi. Namun saat managemen mempromosikan penjualan unit kondotel, konsep brosur dibuat seakan-memiliki luas yang sebenarnya. Sehingga pemesan percaya dan para saksi korban membeli berfariasi cara pelunasan unit tersebut. {JAcK/SN}