Sidang Dugaan Penganiayaan Wartawan Tempo, Hadirkan Ahli

SURABAYA-Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya melanjutkan sidang kasus kekerasan terhadap jurnalis Tempo Nurhadi, Kamis, 21 Oktober 2021. Sidang yang dipimpin ketua majelis Muhammad Basir tersebut menghadirkan saksi ahli Imam Wahyudi, mantan anggota Dewan Pers periode 2013-2019.

Dalam ahli Imam berpendapa, bahwa upaya Nurhadi mewawancarai Angin Prayitno Aji dengan mencari yang bersangkutan ke acara pesta pernikahan di Graha Samudera, Bumimoro, Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan TNI AL pada Sabtu malam, 27 Maret 2021, dapat dibernarkan.

Sebab, dalam menginvestigasi kasus suap pajak yang diduga dilakukan ini, Tempo telah berusaha menghubungi melalui telepon serta mendatangi ke rumah pejabat tinggi Direktorat Jenderal Pajak itu di Jakarta. Namun hasilnya masih nihil. “Padahal publik perlu tahu,” kata Imam.

Imam berujar, dalam konteks itu Nurhadi tidak melanggar hak privasi Angin yang sedang punya hajat. Karena dalam perkara yang menyangkut masyarakat luas, apalagi pelakunya seorang pejabat publik, wartawan diperbolehkan melakukan upaya wawancara tanpa persetujuan narasumber. “Wartawan harus seoptimal mungkin melakukan konfirmasi, dalam investigasi apa pun cara yang dilakukan bisa dikecualikan,” tutur Imam.

Karena yang ditempuh Nurhadi adalah liputan investigasi untuk kepentingan publik, penyamaran identitas pun dimaklumi, termasuk tidak menunjukkan kartu pers. Menurut Imam kartu pers tidak menjamin seseorang sebagai wartawan asli karena barangnya bisa dipalsu. “Yang penting ada kontak redaktur yang bisa dimintai konfirmasi bahwa ia benar-benar wartawan Tempo,” ujarnya.

Namun, kata Imam, dalam upaya mencari keberimbangan berita itu Nurhadi justru mengalami tiga tindakan kekerasan sekaligus, yakni penyensoran berupa penghapusan isi telepon genggamnya secara paksa, pengancaman dan penganiayaan. “Tiga jenis kekerasan itu masuk untuk kasus Nurhadi,” ucap Imam.

Penasihat hukum terdakwa anggota polisi, Muhammad Firman Subkhi dan Purwanto, Joko Cahyono, sempat menanyakan apakah kode etik jurnalistik dan UU Pers tidak bertentangan dengan KUHP, khususnya saat memasuki area terlarang bagi tamu yang tak diundang. Imam pun kembali menerangkan bahwa dalam konteks liputan investigasi, apalagi yang melibatkan pejabat publik, hal itu bisa dibenarkan.

“Kalau tidak ada cara lain, cara normal bisa dilanggar. Namun pasti terjadi benturan dengan pasal pencemaran nama baik, karena orang yang bersalah tentu tak akan mau diungkap salahnya. Karena itu kalau ada sengketa, nanti Dewan Pers yang menimbang dan memutuskan apakah ada pelanggaran atau tidak,” kata ahli Imam. {JAcK}