SURABAYA-Hasil penelitian Disertasi mahasiswa program doktor fakultas hukum Universitas Airlangga Didik Farkhan mengungkap fakta yang cukup mencengangkan. Ternyata selama ini banyak putusan kasasi yang tidak dapat dilaksanakan eksekusi oleh jaksa. Alias mangkrak, karena bersifat non executable (tidak dapat eksekusi) Terutama terhadap barang bukti.
Hal ini disampaikan Didik Farkhan dalam ujian tahap II (terbuka) program doktor ilmu hukum fakultas hukum universitas Airlangga, Surabaa, kamis (19/8/2021).
“Putusan itu seperti ada sebuah SPBU (pom bensin) dan rumah hasil korupsi diputus terlampir dalam berkas. Lalu sebuah laboratorium dan uang puluhan milyar diputus untuk perkara lain, padahal perkara lainnya sudah tidak ada,”urai Kepala pusat Daskrimti Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Bahkan lanjut Didik bahwa di Kejari Jakarta Utara ada kasus penipuan tanah yang melibatkan Notaris di Bengkulu ada barang bukti tanah senilai Rp 30 Milyar diputus saling bertentangan di putusan kasasi. Ada dua terdakwa. Di perkara dengan terdakwa notaris barang bukti tanah itu diputus dikembalikan kepada korban. Lalu di perkara split terdakwa satunya tanah dikembalikan kepada pembeli terakhir.
“Kalau diputus bertentangan begini terus jaksa mau eksekusi barang bukti kemana,”tanya mantan Kajari Surabaya itu.
Ada lagi di Kejari Jakarta Barat ada putusan “salah ketik” ada barang bukti kasus korupsi uang sebesar Rp 40 juta, ternyata tertulis dua kali. Sehingga kalau ditotal jadi 80 juta. Sekarang jadi temuan BPK, jaksa harus melaksanakan sesuai putusan karena sudah inkracht.
“Kasihan jaksanya versi BPK harus nombok 40 juta kalau putusannya tidak diperbaiki,” jelas Didik Farkhan.
Masalahnya, lanjut Didik, merubah putusan itu sudah tidak bisa dilakukan. Jaksa tidak bisa melakukan upaya hukum lagi. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 33 tahun 2016 Jaksa dilarang PK. PK itu hanya hak terpidana dan ahli warisnya.
Ada lagi perkara korupsi di Kejari Surabaya, salah satu putusannya menjatuhkan pidana membayar uang pengganti tidak ada jumlah rupiahnya, hanya tertulis pidana penjara penggantinya. Akhirnya tidak dapat dieksekusi, meski itu putusan kasasi.
Ternyata perkara-perkara seperti ini, tambah Didik jumlahnya sangat banyak se Indonesia. Perkara jenis ini tentu mengakibatkan berlarut-larut penyelesaiannya. “Ini melanggar asas Litis fineri oporteit. Yang artinya setiap perkara harus ada akhirnya,” jelas Kang DF, panggilan akrabnya.
Lantas apa solusinya? Didik mengusulkan agar terhadap perkara-perkara mangkrak itu bisa dituntaskan, kalau Jaksa diberi kewenangan mengajukan PK. Konsep yang ditawarkan mantan Wakajati Bali adalah pengajuan PK demi kepentingan hukum. Kewenangan itu harus masuk dalam revisi KUHAP.
Bahkan sebelum ada revisi KUHAP, kata Didik, dia mengusulkan agar ada langkah hukum progresif yaitu agar Mahkamah Agung menerima dan memutus PK yang diajukan Jaksa. Asal tidak terkait pemidanaan.
“Ini sesuai asas contra legem, hakim bisa mengeyampingkan aturan sebagaimana dulu pernah dilakukan Mahkamah Agung menerima kasasi putusan bebas kasus Natalegawa tahun 1983. Padahal jelas pasal 244 KUHAP jaksa dilarang kasasi untuk perkara bebas,” saran Didik.
Lalu apakah perkara-perkara itu memenuhi syarat untuk diajukan PK? Didik menyebut salah satu syarat bisa diajukan PK sesuai pasal 263 ayat 2, bersifat alternatif selain novum adalah bila ada kekhilafan Hakim. ” Jelas putusan-putusan yang tidak dapat dilaksanakan itu karena kekhilafan Hakim,” tandasnya dihadapan 10 dosen penyanggah yang hampir semuanya adalah guru besar fakultas hukum unair. {SN}