SURABAYA-KPK menegaskan, siap menerapkan tuntutan pidana mati terhadap Menteri Sosial Juliari Batubara dan empat tersangka lain saat nanti duduk menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor. Juliari Batubara sendiri diduga mendapat ‘jatah’ sebesar Rp17 miliar dari paket pengadaan bansos Covid-19 tersebut.
Ketua KPK Firli Bahuri pada media menyatakan, penyebaran Covid-19 yang merupakan bencana non alam telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bencana nasional. Oleh karena itu, untuk penanganan kasus tersangka Mensos Juliari Batubara dan pejabat di Kementerian Sosial lainnya, maka KPK tentu tidak akan berhenti hanya pada penerapan pasal-pasal suap-menyuap.
KPK kata Firli akan bekerja secara maksimal untuk melihat adanya unsur penyalahgunaan kewenangan, untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi hingga berujung kerugian negara dalam pengadaaan paket bantuan sosial (bansos) sembako penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial RI Tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode.
Kata Firli, Unsur-unsurnya diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pada Pasal 2 ayat (2) UU itu, lanjut Firli sangat memungkinkan penerapan pidana mati. Artinya, terhadap tersangka Juliari dkk tidak akan berhenti hanya pada penerapan pasal-pasal suap-menyuap.
“Dalam ketentuan UU 31 Tahun 1999 itu Pasal 2 tentang pengadaan barang dan jasa, ada ayat 2, memang ada ancaman hukuman mati. Kita paham juga pandemi Covid ini dinyatakan oleh pemerintah bahwa ini adalah bencana non alam nasional. Sehingga tentu kita tidak berhenti sampai di sini apa yang kita lakukan,” Jelas Firli di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/20).
Untuk itu, publik dapat bersabar menunggu perkembangan kasus Juliari dkk termasuk keputusan atas penerapan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor. Musababnya, tim KPK masih dan akan terus berkerja untuk mendalami mekanisme pengadaan barang dan jasa untuk bansos sembako maupun bansos lainnya dalam penanganan Pandemi Covid-19.
“Tentu kita akan bekerja berdasar keterangan saksi dan bukti-bukti apakah bisa masuk ke dalam Pasal 2 UU 31 tahun 1999. Saya kira, kita masih harus bekerja keras untuk membuktikan ada tidaknya tindak pidana yang merugikan uang negara sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 itu,” pesannya.
Tambah Firli, karena pandemi Covid-19 telah ditetapkan sebagai bencana nasional maka kemudian pemerintah bersama seluruh stakeholder terkait sangat fokus terhadap penyelamatan jiwa manusia dalam hal ini jiwa rakyat Indonesia. Bahkan kata dia, KPK juga turun tangan melakukan pengawasan dan pencegahan bersama kementerian dan lembaga terkait termasuk hingga seluruh pemerintah daerah.
Berdasarkan data yang dimiliki KPK, salah satu kementerian yang selalu dilibatkan adalah Kemensos. Selain itu, KPK juga sudah menyampaikan titik-titik rawan akan terjadi korupsi dalam kenangan Covid-19 di Indonesia, salah satunya terkait pelaksanaan perlindungan sosial dalam hal ini pemberian bansos. {Red}