Guru Berikan Sanksi ke Murid, Tidak Boleh Dipidana

Dr Azmi Syahputra S.H. M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Karno.

{DETEKTIFNEWS.com}-Guru merupakan profesi sebagai pendidik professional yang tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, menilai peserta didik (murid) yang memerlukan berbagai prinsip profesionalitas dan keahlian khusus untuk itu. Setiap ada perubahan regulasi undang-undang maupun akibat perkembangan kebutuhan masyarakat pasti membawa konsekuensi, salah satu yang kini menjadi keresahan guru pada pendidikan dasar sebagai pendidik adalah adanya ancaman dari undang undang perlindungan anak, keberadaan Undang-undang ini menjadi dilema bagi kalangan guru terbukti terdapat beberapa kasus kasus yang menempatkan posisi dan kedudukan guru menjadi tersangka bahkan disidangkan di pengadilan.

Keresahan guru ini terungkap di organisasi guru seperti PGRI maupun pada forum pertemuan wakil rakyat di tingkat daerah maupun di tingkat nasional ditemui beberapa keluhan yang sifatnya permohonan, pengaduan dan harapan guru yang meminta dibuatkan regulasi perlindungan yang konkrit bagi guru dalam menjalankan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya sebagai guru.

Fenomena yang belakangan ini seolah jadi trend kekinian bagi wali peserta didik yang mengadukan guru ke ranah pidana misal mengacu pada kasus guru Samhudi di Sidoarjo dan lebih miris lagi kasus Guru Dasrul Makassar dan bisa jadi pula terjadi di berbagai tempat lain bagi guru yang tidak terungkap atau diketahui publik, hal ini berdampak menjadikan guru kini seolah bersikap membangun benteng tinggi yang kesannya menjadi cuek , dengan dan tidak mau tahu akan prilaku ketidakpatutan atau kenakalan anak didiknya di sekolah, bila hal ini dibiarkan akan berdampak lebih buruk atas kualitas pendidikan di masa yang akan datang, di mana guru tidak tahu tentang perkembangan perilaku anak didiknya.

Memperhatikan dalam praktik atas pengakuan beberapa guru kepada penulis tidak semua anak murid itu patuh, ada sebagian anak anak peserta didik yang berprilaku melakukan kejahilan, tidak mengerjakan tugas, lari-lari di atas meja, etika yang kurang baik, memeras, mengancam,mengambil barang temannya , menyakiti diri, merengek, melakukan kekerasan kepada teman bahkan kadang memalukan orang tuanya sehingga pada anak -anak yang demikian diperlukan metode mendidik yang salah satunya diberikan hukuman disiplin namun pada saat bentuk penghukuman disiplin ini dilakukan guru sering dibenturkan dengan ancaman hukuman pidana.

Melaporkan kepolisian atas tindakan hukuman disiplin ini adalah tindakan yang berlebihan dan tidak patut diarahkan kepada guru , di mana guru dengan sepenuh hati mendidik anak anak didiknya, ilustrasinya sederhana saja, banyak orang tua mengeluh kerepotan hanya untuk mengurus 2 bahkan sampai 4 orang anak di rumah, bagaimana dengan guru di kelas yang harus mengendalikan hampir 25 – 30 siswa dengan berbagai macam sifat dan latar belakangnya.

Mekanisme yang terpenting jika anak tidak dapat dididik oleh guru seharusnya dikembalikan lagi kepada orang tuanya , agar orang tuanya dapat memahami mengajarkan, mendidik anaknya bukan pula melaporkan dan mempidanakan guru, karena proses belajar mengajar itu perlu sinergis selama proses belajar mengajar berlangsung di sekolah demikian pula dengan di rumah, bagaimana mungkin anak akan patuh dan tertib jika disekolah diajarkan disiplin dan taat namun dirumahkan tidak dilakukan hal yang sama tentang nilai nilai prilaku, ini yang jadi perlu kajian yang sama agar adanya kesepahaman yang sama antara sekolah, guru dan orang tua dalam mendidik guna pembentukan karakter dan perkembangan jiwa anak.

Tulisan ini bukan pula untuk membuat pembelaan yang berlebihan kepada guru selaku pendidik, namun hendaknya orangtua/ wali murid, guru dan sekolah harus sadar akan fungsinya masing -masing. Kasus-kasus pemidanaan kepada guru menunjukkan ketidakharmonisan hubungan komunikasi antar guru, murid dan wali murid, bagaimana mungkin dapat menjalankan proses belajar mengajar yang baik jika frekuensi komunikasi berbeda malah antar orang tua dan pihak sekolah berhadap hadapan dalam masalah .

HAK GURU MENJATUHKAN SANKSI KEPADA PESERTA DIDIK.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen , dalam Pasal 14 huruf f menyebutkan “. Guru berhak memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan dan atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang undangan. “

Demikian pula disebutkan dalam Peraturan Pelaksanannya, Pasal 39 PP Nomor 74 /2008 tentang Guru menyebutkan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun peraturan yang tidak tertulisyang ditetapkan oleh guru,peraturan tingkat satuan pendidikan dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran dibawah kewenangannya. (2) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan atau peringatan baik lisan maupun tertulis serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan . jadi dari ketentuan ini sangat jelas guru dapat memberikan sanksi kepada peserta didik jika murid berprilaku tidak baik dan melanggar norma norma seperti yang disebutkan diatas, dan selama dalam proses belajar disekolah adalah kewenangan guru sebagai pendidik sebagai wujud dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas murid dan berakhlak mulia.

Sehingga jika batasan dan makna normatif ini dipahami dan dioperasionalkan secara utuh oleh para guru, peserta didik, dan orang tua peserta didik seharusnya tidak ada lagi guru yang berhadapan dengan persoalan hukum dalam melakukan penghukuman disiplin kepada peserta didik kecuali atas prilaku di luar proses pendidikan atau nyata nyata guru tersebut memang dengan sengaja melakukan tindak pidana di luar batas rasional yaitu berupa tindaan kekerasan, pelecehan seksual, atau pemerkosaan atau hal hal yang bertentangan dengan prilaku guru.
Tidak dapat dipidanakan.

Asas dalam hukum pidana menyebutkan pada umumnya siapapun yang melakukan tindak pidana dapat dimintai pertanggung jawaban dengan catatan perbuatan tersebut dapat dicela dan kepada pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban, namun demikian adapula pengecualian yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana seperti yang diatur dalam ketentuan pidana antar lain, ada alasan pembenar dan ada alassan pemaaf yaitu dapat berupa melaksanakan perintah atasan, melaksanakan undang-undang, dalam keadaan terpaksa dan menyelamatkan jiwa , atau bagi orang yang hilang ingatan, hal hal ini tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Sehingga pertanyaannya bagi guru yang mendisiplinkan dan memberikan sanksi hukuman (corporal punishment) bagi murid yang melanggar norma-norma kepatutan, kesopanan, akademik dan kesusilaan dapatkah dipidanakan? Padahal guru memiliki kewenangan dan haknya sebagai pelimpahan dari perannya yang diatur oleh undang-undang sebagai fungsi dan kedudukannya sebagai guru.

Prilaku prilaku murid yang terkadang bertentangan dengan norma norma tersebut yang pada akhirnya diberikan sanksi oleh guru kepada muridnya tidak dapatlah dikategorikan pidana, sanksi sanksi disipilin yang diberikan oleh guru kepada murid yang melanggar norma norma tersebut tidak dapat dikategorikan pidana.

Lebih lanjut asas-asas dalam hukum pidana menjelaskan berkait tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan “Tuchrecht” sebagai alasan pembenar. Alasan penghapusan pidana merupakan dasar yang digunakan untuk tidak dipidananya seorang pelaku tindak pidana. Alasan penghapusan pidana ini dapat berupa alasan pembenar, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan, dan alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan.

Seorang guru yang melakukan tindakan-tindakan kedisiplinan pada batas-batas tertentu, dan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan (dipidana), meskipun secara formal guru tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum (tindak pidana). Hal ini dikarenakan adanya alasan pembenar yang menyertai perbuatannya, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Dalam hal ini dikenal dengan asas “sifat melawan hukum materiel”(dalam fungsinya yang negatif). Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa sifat melawan hukum materiel identik dengan melawan/ bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (unwritten law/the living law), bertentangan dengan asas asas kepatutan atau nilai-nilai (dan norma) kehidupan sosial dalam masyarakat (termasuk tata susila dan hukum kebiasaan/adat). Jadi, hukum tidak dimaknai sebagai wet, tetapi dimaknai secara materiel sebagai “recht”. Oleh karena itu sifat melawan hukum materiel identik dengan “onrechtmatige daad”.

Sifat melawan hukum materiel ini dibedakan berdasarkan fungsinya, yakni: a. fungsinya yang negatif artinya sumber hukum materiel (hal-hal/kriteria/norma di luar undangundang) dapat digunakan sebagai alasan untuk meniadakan/menghapuskan (menegatifkan) sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Jadi tidak adanya sifat melawan hukum materiel dapat digunakan sebagai alasan pembenar.

Dalam kerangka konsep sifat melawan hukum materiel dengan fungsinya yang negatif, perbuatan guru (selama melaksanakan tugas/profesinya) yang secara formal bersifat melawan hukum, misalnya pemberian peringatan keras, pemberian tugas-tugas, skorsing, dan lain-lain, selama perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka mendidik demi tercapainya tujuan pedidikan, maka akan menghapuskan sifat melawan hukum materiel dari perbuatannya tersebut. Memang dalam praktek perkembangan hukum pidana, terdapat perbuatan-perbuatan yang hilang sifat melawan hukumnya atas dasar alasan pembenaran yang tidak mungkin ditemukan dalam undang-undang (tertulis) yang ada.

Penilaian mengenai hapusnya sifat melawan hukum materiel dari tindak pidana yang dilakukan guru tersebut berdasarkan atas nilai-nilai dan hukum tidak tertulis yang diakui dalam profesi guru, secara teoritis dikenal dengan istilah “tuchtrecht”, yakni hak mengawasi dan mendidik dari orang tua, wali, guru terhadap anak-anak mereka dan murid-muridnya di mana dalam batas-batas tertentu. Tindakan guru yang diperkenankan dalam tuchtrecht ini bukan hanya merampas kebebasan anak-anak/murid-murid, tapi juga tindakan penghukuman anak-anak/murid-murid yang dilakukan pada batas-batas tertentu dengan kerugian yang seminimal mungkin. Setidaknya tindakan tersebut harus memenuhi tiga syarat yakni (1) dalam kondisi terpaksa; (2) penderaan secara terbatas (harus dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu; dan (3) dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diperkenankan.

Dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia yang disampaikan oleh Prof Barda Nawawi Arief, Prof Indrianto Seno Adji , disampaikan pada Seminar Nasional tentang “Asas-Asas Hukum Pidana Nasional”, Semarang, 26-27 April 2004 “Bahwa diterimanya alasan pembenar yang meniadakan sifat melawan hukum materiel suatu perbuatan jika suatu tingkah laku yang termasuk dalam rumusan delik, dipandang dari sudut tata hukum, menghasilkan keuntungan yang demikian rupa dapat dirasakan, sehingga keuntungan ini lebih dari cukup seimbang dengan kerugian yang disebabkan oleh tindakan yang bertentangan dengan undangundang”.

Dari kedua pendapat di atas, yang menjadi fokus dalam penggunaan hukuman disiplin adalah keuntungan (benefit). Jadi, jika keuntungan (manfaat) yang akan diperoleh dari perbuatan yang memenuhi rumusan delik tersebut lebih besar dibandingkan kerugian yang ditimbulkannya, maka karena hal itu dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya.

Dalam suatu disertasi doktoral di Universitas Padjadjaran Bandung pada tanggal 22 Maret 1994, Komariah Emong Sapardjaja memberikan kriteria yang merupakan gabungan pendapat Langmeyer dan J.M. van Bemmelen serta putusan Mahkamah Agung untuk menghilangkan sifat melawan hukum materiel, yaitu 1.harus dilihat apakah perbuatan mempunyai tujuan nyata yang memberikan manfaat terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang undang; 2. melindungi suatu kepentingan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepentingan hukum yang dituju oleh perumusan tindak pidana yang dilanggarnya; 3. mempunyai nilai yang lebih besar bagi kepentingan masyarakat dibandingkan dengan kepentingan diri sendiri.

Artinya jika hukuman disiplin yang diberikan oleh guru dengan perbuatannya berkehendak untuk mencapai tujuan yang oleh setiap orang dipandang sebagai suatu “tujuan yang baik”, sehingga dapat dikesampingkannya kepentingan pembuat undang-undang yang membuat peraturan pidana dengan tujuan memberikan perlindungan karena ada tujuan yang lebih baik yang ingin dicapai dalam hal ini agar prilaku anak didik baik dan benar.

Ketentuan konsep di ataslah yang dapat dipergunakan sekaligus pembenar bagi guru memiliki hak memberikan sanksi disiplin (sanksi yang mendidik) kepada muridnya tidaklah dapat dipidana. semestinya bagi guru, sekolah, wali murid hendaklah dapat arif dan bijaksana terutama wali murid harus “bening’ melihat persoalan pemberian hukuman disiplin yang diberikan guru kepada muridnya, orang tua murid tidak perlu terburu buru melaporkan guru ke kepolisian, di mana kesannya anak sudah dapat menjadi actor “pengadu domba” antar guru dan orangtua/ wali murid.

PERLINDUNGAN HUKUM 

Konsekuensi dari Prinsip profesionalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Guru menyebutkan bahwa guru memiliki jaminan perlindungan hukum dalam tugas keprofesionalannya, demikian pula diatur dalam Pasal 39 UU Guru menyebutkan bahwa pemerintah, organisasi profesi dan aatau satuan pendidik wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugasnya, perlindungan dimaksud meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi terhadap perlakuan yang diskriminatif, ancaman , termasuk didalamnya upaya upaya menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya, intimidasi dan perlakuan yang tidak adil dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokarasi karenanya kepolisian sebagai pintu grebang masuknya perkara pidana harus teliti dan sangat hati hati dalam menerima laporan polisi berkait tentang hukuman disiplin kepada peserta didik.
diperlukan komunikasi yang baik antar para wali murid, guru dalam sekolah, perlu dihidupkan upaya upaya membangun kearifan lokal dan penghormatan terhadap guru yang diharapkan dapat menghilangkan hambatan hamabatn dalam pendidikan bahkan sampai sampai guru dikriminalisasi, jika menghadapi kendala atau persoalan dalam proses pendidikan maka wajib dikedepankan cara cara musyawarah (tabayun), mediasi yang tenang dan objektif, bila dianggap perlu menempatkan tokoh masyarakat yang peduli dan memahami tentang nilai nilai pendidikan dalam penyelesaian permasalahan pendidikan di sekolah, serta diperlukan kesadaran semua pihak terkait akan fungsi kedudukan masing -masing baik sebagai guru, murid maupun wali murid hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan pertemuan rutin dengan melibatkan komite sekolah, praktisi pendidikan, akademisi hukum dan psikolog atau dapat pula berbentuk forum diskusi atau seminar parenting yang diadakan sekolah atau dinas pendidikan secara berkala sesuai wilayah kerjanya masing-masing sebagai wadah komunikasi dan evaluasi.

PENUTUP

Sekolah bukanlah tempat penitipan anak , perlu diketahui semestinya berbicara pendidikan dasar seharusnya pendidikan dasar anak bermula didapat berasal dari orang tua dan keluarga, sehingga perkembangan dan prilaku anak dapat tercermin dari lingkungan dan bagaimana cara mendidik orang tua dan lingkungan keluarganya, sebagai orang tua seharusnya sadar akan hal ini bukan pula menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada sekolah. Jika antar guru, murid dan sekolah sebagai wadah memahami fungsi dan tanggung jawabnya maka tidak akan terjadi kriminalisasi atau antar guru dan wali murid saling berbenturan atau berhadapan hadapan dalam masalah sampai guru harus menjadi tersangka ditingkat kepolisian bahkan sampai menjadi terdakwa dalam persidangan pengadilan.

Karenanya diperlukan hubungan komunikasi yang sinergis atau satu frekwensi antara guru, murid dan wali murid agar tujuan membentuk anak yang berkarakter baik akan terwujud yang dicirikan, dengan pribadi yang bertanggung jawab, mandiri, berprilaku yang baik dan benar, memiliki kompetensi serta memiliki sikap kepedulian terhadap sesama. {Kompasiana/Red}