JAKARTA, {DETEKTIFnews.com}-Sejak digelontorkan pemeerintah dana desa hingga bergulir tahun 2015, dana desa itu berjumlah Rp 186 triliun.
Dana desa ini sudah disalurkan ke 74.954 desa di seluruh wilayah Indonesia.Perkembangannya, dana desa yang berlimpah tersebut rawan praktik korupsi.
Berdasarkan hasil pemantauan serta rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2015 hingga Semester I 2018, kasus korupsi dana desa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
“Dalam catatan ICW sedikitnya sudah ada 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 miliar,” kata peneliti ICW Egi Primayogha, dalam keterangan tertulisnya pada media, Rabu (21/11/2018).
Sedangkan tahun kedua, jumlahnya meningkat menjadi 41 kasus. Sementara, pada 2017, korupsi dana desa melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 96 kasus.
“Sementara pada semester I tahun 2018, terdapat 27 kasus di desa yang semuanya menjadikan anggaran desa sebagai objek korupsi,” kata Egi.
Dari segi pelaku, kepala desa menjadi aktor terbanyak untuk kasus korupsi dana desa. Pada 2015, sebanyak 15 kepala desa menjadi tersangka. Selanjutnya tahun 2016 jumlahnya meningkat menjadi 32 kepala desa, dan jumlahnya meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 65 orang pada 2017.
Pada semester I tahun 2018, sebanyak 29 orang kepala desa menjadi tersangka.
“Total hingga saat ini sedikitnya ada 141 orang kepala desa tersangkut kasus korupsi dana desa,” kata Egi.
Selain kepala desa yang menjadi aktor, ICW mengidentifikasi potensi korupsi yang dapat dilakukan oleh beberapa aktor lain, yaitu perangkat desa sebanyak sebanyak 41 orang dan 2 orang yang berstatus istri kepala desa.
Kata Egi, permainan anggaran dapat terjadi saat proses perencanaan maupun pencairan. Proses yang rawan tersebut, misalnya, dapat terjadi di tingkat kecamatan.
Dalam hal ini, karena camat memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDesa) sehingga potensi penyunatan anggaran atau pemerasan dapat terjadi pada tahap tersebut.
“Sementara itu, pemerasan anggaran dapat juga dilakukan oleh instansi-instansi lain baik oleh Bupati maupun dinas yang berwenang di Kota/Kabupaten” ujar Egi.
Menurut ICW, kasus korupsi dana desa ini terjadi karena berbagai faktor, mulai dari minimnya kompetensi aparat pemerintah desa, tidak adanya transparansi dan kurangnya pengawasan.
ICW menyarankan, agar ada evaluasi. Misalnya, perlu ada pelayanan satu pintu dalam pengurusan dan pengelolaan dana desa, serta perlu diberi bimbingan teknis bagi seliruh aparatur desa. {B2r Sitinjak}