SURABAYA, {DETEKTIFNews.com}-Menyikapi beredarnya video berdurasi 56 detik berisi kondisi jenasah korban M Yusuf, wartawan Kemajuan Rakyat dan Berantas News, yang tewas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kotabaru pada Minggu 10 Juni lalu, Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia Hence Mandagi mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM segera bertindak dengKean membentuk Tim Pencari Fakta dan melibatkan organisasi pers di dalamnya.
Melihat videonya (yang beredar luas di masyarakat), terlihat jelas kondisi jenazah almarhum Yusuf terdapat lebam-lebam merah di bagian leher dan tangan korban. Komnas HAM harus segera meminta polisi melakukan autopsi terhadap jenazah korban untuk mengungkap penyebab kematian korban, termasuk menjelaskan lebam-lebam yang ada di tubuh korban.
Dalam pengusutan kasus ini, Komnas HAM perlu melibatkan unsur organisasi pers agar lebih transparan dalam mengungkap fakta-fakta dugaan pelanggaran HAM dalam penanganan perkara yang menjadikan almarhum M Yusuf sebagai tersangka karena Dewan Pers dan polisi tidak memakai mekanisme sidang Majelis Kode Etik yang ada dalam aturan di masing-masing organisasi pers jika ada dugaan pelanggaran kode etik.
Selain itu, Komnas HAM harus memeriksa Dewan Pers dan saksi ahlinya yang kerap mengkriminalisasi pers termasuk kasusnya almarhum M Yusuf, karena keterangan saksi ahli sesungguhnya belum lengkap jika tidak disertai hasil sidang Majelis Kode Etik di organisasi pers. Dan pada kenyataannya, M Yusuf belum disidang oleh Majelis Kode Etik sehingga belum bisa dibuktikan bersalah atau tidak.
Kejanggalan lainnya dalam kasus M Yusuf ini patut diselidiki Komnas HAM adalah kedatangan tiga orang penyidik Polres Kota Baru ke kantor Dewan Pers di Jakarta hanya untuk mengurus kasus sepeleh. Seharusnya polisi hanya mengirim surat ke Dewan Pers dan menunggu surat jawaban mengenai saksi ahli maupun sikap Dewan Pers.
Kami mempertanyakan apa urgensinya sehingga dalam pengusutan kasus ini sampai tiga orang penyidik harus diterbangkan ke Jakarta. Ini menimbulkan tanda tanya besar.
DPP SPRI juga mendukung sepenuhnya upaya hukum dari pihak keluarga korban yang akan menggugat Polres Kotabaru dan Kejaksaan Negeri Kotabaru.
Untuk mengungkap kasus ini Komnas HAM harus mememperhatikan pengakuan istri almarhum Yusuf, T Arvaidah bahwa ada dugaan kematian suaminya tidak wajar karena saat visum dilakukan dirinya dilarang masuk oleh petugas medis.
Untuk menyikapi maraknya kriminalisasi terhadap pers yang berujung kematian M Yusuf, DPP SPRI mengajak seluruh insan pers dari berbagai penjuru tanah air untuk bersatu menggelar aksi solidaritas secara serentak di masing-masing daerah sebagai ungkapan duka cita atas kematian almarhum M Yusuf.
Kita harus menyatakan sikap bahwa pers Nasional sedang berduka cita atas runtuhnya kemerdekaan pers Indonesia. Pemerintah jangan diam saja dalam menyikapi situasi ini. Segera bubarkan Dewan Pers sebagai biang kerok perusak kemerdekaan pers. {Red/SPRI}